Sunday 8 May 2016

Serupa Tapi Tidak Sama

Gue suka kesel sama orang yang selalu mencoba menyamaratakan antara satu manusia dengan manusia yang lainnya. Menurut mereka, karena kita sama-sama manusia, kita jadi punya kemampuan yang sama. Iya, tapi nggak semuanya. Ada batasan-batasan dari setiap manusia. Kita memang serupa, tapi tidak sama.

Guru matematika gue misalnya, dari dulu sering banget nyepelein kalimat, “Masa gitu doang nggak bisa? Temen-temen kamu aja bisa!” watdefa. Kalau bukan bidangnya, mau disemangatin sampe mencret oskadon juga nggak akan bisa. Otak gue memang punya kemampuan untuk berhitung. Tapi daya ingat gue kurang bisa untuk menampung rumus-rumus yang berbelit. Gue bisa kok menghitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, ataupun pembagian. Tapi kalau harus mengingat rumus phytagoras, aljabar, trigonometri, dan rumus-rumus lainnya, gue agak kesusahan.

Apa karena otak gue nggak mampu nyerap konsep rumus? Nggak juga. Buktinya, gue ngerti cara ngedesign website. FYI, ngedesign web itu pake bahasa pemograman HTML, CSS, Javascript, PHP (bukan pemberi harapan palsu), dan lain-lain. Nyusun bahasanya juga pake rumus. Kalau sekarang gue suruh guru matematika gue ngedesign web, apa dia mampu? Belum tentu.

Satu hal yang gue tahu, kita akan tertarik pada sesuatu yang menurut kita menarik. Kenapa gue bisa ngedesign web? Karena gue tertarik untuk belajar bahasa pemograman web. Kenapa gue mau belajar bahasa pemograman web? Karena dunia website menarik perhatian gue. Kenapa guru gue jago matemarika? Karena dia tertarik untuk mempelajarinya. Kenapa dia tertarik? Karena dunia matemarika mampu menarik perhatiannya. Sesederhana itu.

Dan, kita nggak bisa memaksakan orang lain untuk tertarik pada apa yang menurut kita menarik. Gue suka sama dunia website. Tapi bukan berarti gue harus maksa semua orang jadi suka website. Guru gue suka matematika. Tapi nggak berarti dia harus maksa gue untuk suka sama matematika. Dalam konteks ini, “suka” dan “tahu” itu berbeda.

Gue tahu matematika. Gue kenal rumus dan angka. Tapi gue nggak suka. Cukup sebatas tahu, karena sedikitnya gue butuh ilmu itu. Gue ngerti bahwa untuk menghitung gaji 100 karyawan, bakalan lebih cepet pake perkalian daripada penjumlahan. Gue ngerti bahwa untuk menghitung permen yang harus gue beli kalau mau dikasih ke tetangga dengan masing-masing dapet lima biji, bakalan lebih cepet pake pembagian daripada pengurangan. Gue ngerti banget konsep itu. Yang nggak gue mengerti, kenapa guru gue nuntut banget supaya gue mau belajar semua rumus. Masalahnya, rumus-rumus itu nggak akan kepake semua.

Kalau ke depannya gue bekerja sebagai arsitek, ahli fisika, atau rentenir yang ngutangin orang satu kota, mungkin iya rumus-rumus itu kepake. Nah, kalau gue bekerja di bidang yang lain? Kan ada kalkulator. Sama halnya kayak kenapa guru gue nggak belajar dunia website, ya karena dia ngajar di papan tulis, bukan di internet. Dan kalaupun dia mau ngajar di internet, kan ada banyak orang yang nawarin jasa design web, jadi guru gue tinggal nulis-nulis. Gue juga ada kalkulator. Jadi tinggal mijit-mijit angka dan simbol. Sesederhana itu.

Sedikit menyinggung kalkulator, gue bingung kenapa pihak sekolah selalu ngelarang muridnya untuk pake kalkulator saat ulangan. Mereka nuntut para siswa untuk menghitung manual. Padahal menurut gue, kalkulator diciptakan justru untuk memudahkan. Harusnya sih nggak apa-apa pake kalkulator, karena yang terpenting udah paham rumusnya. Kayak gini deh. Lo di kasih daging mentah dan minyak, terus disuruh masak daging itu sampe siap dimakan. Di zaman udah ada kompor gas seperti ini, lo disuruh nyalain apinya pake cara purba: ngegesek dua batu supaya ngehasilin percikan api.

Iya gue juga tahu dua benda yang bisa menghantarkan panas kalau bergesekan secara terus menerus akan menghasilkan percikan api. Tapi kan udah ada kompor gas? Dan tugas utama dari masak daging itu bukan bikin api, tapi membuat daging mentah siap dimakan. Nggak penting apinya mau pake kompor gas, gesek batu, atau ledakin petasan, yang penting itu daging siap dimakan. Ya ulangan juga gitu. Nggak penting ngitungnya manual atau pake kalkulator, yang penting hasil akhirnya bener. Toh kalaupun mau pake kalkukalor, tetep harus masukin rumus dulu kan? Kalau nggak hapal rumus, kalkulator nggak akan ada artinya.

Terlepas dari kalkulator dan matematika, gue mau bilang bahwa, sesuatu yang menarik perhatian kita biasanya sesuatu yang membuat kita bahagia. Kenapa lo main Instagram? Karena lo suka upload poto di sana dan bahagia ketika dapet banyak love dari followers. Kenapa lo pacaran di social media? Karena lo suka menunjukkan bahwa lo punya pacar ke massa dan lo bahagia ketika orang lain tahu bahwa lo punya pacar. Tapi balik lagi ke awal, kita juga nggak bisa maksa orang lain untuk bahagia dengan cara kita. Setiap manusia punya caranya sendiri. 

Jadi, nggak apa-apa lo nggak ngerti apa yang orang lain ngerti, nggak punya apa yang orang lain punya, dan nggak bisa apa yang orang lain bisa. Karena meskipun kita serupa, tapi kita tidak sama. 

Bukankah begitu, bu guru?

0 comments

Post a Comment