Tuesday 14 June 2016

Idealism Of Humanity

Belakangan ini timeline twitter gue lagi rame ngomongin warteg di bulan ramadhan. Sebagian orang beranggapan bahwa warteg dan tempat-tempat makan lainnya harus tutup di siang hari selama bulan ramadhan, dengan dalih menghargai umat islam yang menjalankan ibadah puasa.

Sebelum gue menuangkan opini, kalian setuju nggak warteg dan tempat-tempat makan harus tutup di siang hari selama bulan ramadhan? Kalau setuju, alasannya apa?

Kalau gue sih, dengan idealisme dan pondasi humanity, jujur aja nggak setuju. Btw, gue islam ya. Kalau ada yang nanya, "Nama lo Raka Prasetya Andreas, agama lo apa?" Islam. Kenapa nama belakang gue Andreas? Itu singkatan dari: anak dengan restu Allah SWT.

***

Well, first of all, gue mau bilang bahwa di sini gue bukan mau ngajak debat. Tapi gue cuma mau beropini. Terserah mau setuju atau nggak warteg harus tutup di siang hari selama bulan ramadhan, tapi kalau gue bakal tetep nggak setuju. Alasannya?

1. Negara

Coba baca pancasila. Di sana tertulis dengan jelas bahwa negara ini berpaham ketuhanan yang maha esa. Tahu arti 'esa' nggak? Esa itu artinya satu. Berarti, di negara Indonesia, mau agama apapun, selama umatnya menyembah satu tuhan, mereka tetep boleh menjadi warga negara Indonesia. Lalu, tertulis juga keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Berarti, seluruh rakyat (mereka yang menganut agama apapun selama menyembah satu tuhan), berhak mendapatkan keadilan. Dalam hal apa? Semuanya. Termasuk makan.

Warteg harus tutup di siang hari selama bulan ramadhan untuk menghargai orang islam yang berpuasa? Itu sama aja kita nggak menghargai umat agama lain. Kan di Indonesia ada banyak agama. Dan nggak semua dari mereka ikut berpuasa.

Di negara Indonesia emang mayoritas beragama islam. Tapi bukan karena agama lain minoritas, islam jadi harus diprioritaskan. Kalau di negara ini masih ada aturan yang menyangkut mayoritas dan minoritas, sila 'keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia' nggak ada artinya.

Sekali lagi, gue beragama islam. Tapi gue tetep menghargai agama lain. Dan inilah idealisme pondasi humanity gue. Di sini gue beropini atas dasar negara. Bukan agama. Jadi, karena kita tinggal di Indonesia, harusnya kita bisa bersikap adil supaya sila 'keadilan' itu nggak cuma hitam di atas putih doang.

Nggak setuju? Silakan pindah ke negara islam.

2. Agama

Sekarang gue mau beropini dari segi agama. Sepengetahuan gue (dari apa yang diajarin guru-guru agama), islam itu agama yang cinta damai. Islam tidak mengajarkan peperangan. Yang artinya umat islam tidak boleh menyerang, tapi boleh bertahan dan melawan. Menyerang itu memulai, sedangkan malawan itu membela.

Dalam konteks warteg, umat islam (seharusnya) nggak boleh nyuruh warteg dan tempat makan untuk tutup (menyerang). Tapi umat islam boleh menolak (melawan) untuk makan ketika si penjual menawarkan dagangannya. Tentunya menolak dengan bahasa yang manusiawi. Kalau nyuruh tutup, itu sama aja kayak menyerang. Sedangkan berkata 'tidak' saat ditawari makan, itu artinya menolak. Dan kalaupun kita (umat islam) menolak untuk makan, si penjual nggak akan nyuruh kita pindah agama, kan? Jadi kenapa kita harus nyuruh mereka tutup?

Mereka hanya menawarkan, bahkan membebaskan karena dari tawarannya tetep ada pilihan: mau atau nggak. Lah kalau nyuruh tutup? Itu mah pemaksaan.

Analoginya gini:

Ketika gue berstatus sebagai pelajar sekolah, berarti gue terikat dengan status tersebut. Dan gue punya kewajiban untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kalau gue bolos ke warnet? Tentu itu salah gue. Bukan salah warnet. Karena nyatanya, lebih banyak pelajar yang bisa fokus sekolah daripada belok ke warnet.

Nah, ketika gue menganut agama islam, berarti gue terikat dengan aturan yang ada di agama tersebut. Dalam konteks ini, gue harus menjalankan ibadah puasa selama bulan ramadhan. Kalau gue batal puasa karena makan di warteg siang hari? Tentu itu salah gue, bukan salah warteg. Toh emang lebih banyak yang bisa puasa sampai tamat daripada batal gara-gara belok ke warteg.

Warnet itu terbuka umum. Target konsumen mereka ya semua orang yang mau pake fasilitas internet. Warteg juga terbuka umum. Target konsumen mereka ya semua orang yang mau makan. Kalau ada pelajar yang bolos ke warnet? Itu mah pelajarnya aja yang nggak bisa tanggungjawab sama kewajiban. Begitupun kalau ada umat islam yang kegoda sama warteg. Itu orangnya yang nggak bisa tanggungjawab sama perintah tuhan.

Kalau ada orang yang beropini warteg harus tutup di siang hari selama bulan ramadhan, gue rasa itu orang agamanya masih kurang. Kalaupun alasannya untuk menghargai umat islam, gue rasa orang itu opininya masih dangkal. Menutup warteg di siang hari selama bulan ramadhan demi menghargai umat islam itu sama artinya dengan meremehkan iman kami (umat islam). Kalau cuma warteg dan tempat makan doang, maaf, iman gue nggak sereceh itu.

3. Kemanusiaan

Terakhir, gue mau beropini dari segi kemanusiaan. Di point ini mari kita lupakan sejenak soal agama dan negara. Kenapa? Karena pada dasarnya, di manapun kita tinggal, agama apapun yang kita yakini, kemanusiaan adalah sesuatu yang nggak bisa lepas dari hidup ini.

Kalau ngomongin kemanusiaan dalam konteks warteg di bulan ramadhan, gue mau bilang bahwa mereka (pemilik warteg) hanya mencari penghasilan. Dan mereka nggak salah. Karena ketika mereka membuka warungnya, mereka nggak ngajak kita untuk makan. Mereka hanya buka warung dan diam. Ketika ada pelanggan, barulah mereka melayani. Kalau dipikir-pikir lagi, justru kitalah yang datang untuk makan.

Sama halnya kayak nonton TV. Banyak orangtua anak yang bilang bahwa televisi itu negatif. Di sana ada banyak tontonan yang nggak mendidik. Gara-gara televisi, anak mereka jadi kurang ajar dan nggak tahu sopan santun. Menurut gue, merekalah yang keliru. Masa nyalahin televisi? Ya salahin diri sendiri. Kenapa anaknya nggak dididik? Mayoritas acara di televisi punya label. Ada yang khusus anak-anak, bimbingan orangtua, remaja, dewasa, bahkan semua umur. Kalaupun nggak ada label, mereka (orangtua) harusnya udah paham mana tontonan yang cocok untuk anaknya dan mana yang nggak. Bukan anaknya yang diatur, tapi tontonannya yang dipilih.

Contohnya lagi, di YouTube ada salah satu youtubers gamers yang konten videonya semacam reaction main game. Dan saat dia bermain, sering ada kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya. Apa dia salah? Nggak. Karena target penonton dia emang bukan anak-anak. Tapi dewasa atau minimal seusia dia. Kalau ada anak yang nonton videonya? Itu salah orangtuanya, karena mereka nggak ngasih tahu anaknya bahwa tontonan itu bukan buat anak-anak.

Balik lagi ke warteg. Ketika ada warteg yang buka di siang hari selama bulan ramadhan, apa itu salah? Nggak. Karena target pengunjung mereka emang bukan umat islam yang berpuasa. Tapi orang-orang yang menganut agama lain, atau umat islam yang lagi nggak puasa. Kalau ada umat islam yang lagi puasa tapi makan di warteg? Itu salah orangnya. Bukan wartegnya, bukan agamanya.

Tapi ya udah sih ya, kalau kalian tetep nggak sepaham sama opini gue, mungkin ini alasannya:

Quote dari: @ebyisme

Karena gue udah sering banget liat manusia, tapi jarang liat kemanusiaan.

0 comments

Post a Comment